Peradilan Rakyat
                        
                          
Cerpen Putu Wijaya
Seorang
 pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara 
senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
"Tapi aku 
datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke 
mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di 
negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan 
jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi 
rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."
"Tentu
 saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau 
perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan 
pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para 
pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para 
elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, 
namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk 
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu 
pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah 
membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di 
luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak 
pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di 
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang 
sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak 
belajar dari buku itu."
Pengacara muda itu tersenyum. Ia 
mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti
 macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku
 tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh 
sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan 
bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap 
kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk
 menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah 
tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya 
penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, 
tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."
Pengacara tua itu meringis.
"Aku
 suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa 
bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak
 apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung 
pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga 
pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri 
dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam 
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, 
bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima
 kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela 
seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak 
keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan 
kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan 
seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah.
 Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk
 membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater 
spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada
 kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang 
pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam
 dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua 
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara 
yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena 
pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya 
pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus 
juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ 
aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku 
melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, 
kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan
 kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap 
kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke 
titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim 
pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, 
karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena 
aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai 
pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya 
bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang 
bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi
 aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku 
untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah 
negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat 
kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk 
membelanya."
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara
 tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang 
jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan 
kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal 
siapa kamu."
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya
 aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang 
pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar 
aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku 
mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu 
pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang
 seadil-adilnya."
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
"Jangan
 dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
 profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak
 hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan 
sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di
 situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari 
seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang
 pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak 
mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik 
pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal 
semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak 
membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"
"Tidak
 ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk 
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang 
paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. 
Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling 
penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai 
klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti
 yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. 
Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar 
sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."
"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."
"Sudah
 bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca
 walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi 
karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."
Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"
Orang
 tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya 
mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat 
tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan
 kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau 
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu 
ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi 
kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu
 sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, 
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan 
dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian 
untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu 
sebagai penegak hukum yang profesional."
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku
 kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu 
pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah 
sangat rindu kepada dia."
Pengacara muda itu jadi amat terharu. 
Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat 
tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah
 dan kesakitan.
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."
Pengacara
 tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. 
Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu 
wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."
Entah
 karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat
 indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang 
sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia 
mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai 
membangunkan orang tua itu dan berbisik.
"Katakan kepada 
ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu 
sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan 
memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang 
ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang 
lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat 
negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan 
menjadi bangsa yang lalai."
Apa yang dibisikkan pengacara muda 
itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia 
mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat
 itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya 
dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, 
tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir
 bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster 
raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. 
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan 
sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan
 hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu 
terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan 
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan 
suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
"Setelah
 kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku
 berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, 
"Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku 
sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada 
putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi 
juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata 
seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di
 mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan 
rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***